Selasa, 09 Desember 2014

CERPEN PANTAI PANJANG SEPANJANG CITA-CITAKU

Assalamu'alaikum..
Lama nggak posting :D
Salam sahabat pena!! :)
Jangan lupa dilike dan dishare ya~~



PANTAI PANJANG SEPANJANG CITA-CITAKU

Karya : Pitria Elisa


            “Melambai-lambai… Nyiur dipantai…” Aku perlahan bernyanyi ditengah lamunanku. Aku ditemani oleh gulungan-gulungan angin yang berhembus pelan. Ditemani juga oleh gulungan-gulungan ombak yang perlahan-lahan mengikis bebatuan di tepinya. Aku mulai mengkhayal tentang cita-citaku, keinginanku. Perlahan semakin indah, semakin cerah.
            “Nah, ketahuan melamunin apa,Mad? Senyam-senyum aja Ayah liat!” Ayahku dating dan memecahkan lamunanku.
            “Eh? Ada apa,Yah?” Jawabku kebingungan.
            “Yeeh.. Dia bingung lagi. Itu kamu ngelamunin apa toh,Mad?” Ayahku duduk disampingku.
            “Biasalah,Yah” Jawabku menunduk.
            “Apa? Cita-citamu lagi?” Kata Ayahku sambil menepuk bahuku. Aku hanya mengangguk pelan.
            “Kan udah Ayah bilang, jadi laki-laki harus semangat, harus kuat! Kalau memang kamu mau meraih cita-citamu, ya kamu harus berusaha dong! Kalau melamun terus begini, gimana mau tercapai?” Nasehat Ayahku.
            Aku tersenyum, mengangguk pelan dan berlari kencang ke pesisir pantai meninggalkan Ayah.
            “Eh? Jangan jauh-jauh,Mad!” Teriak Ayah.
****
            Pagi ini, terasa begitu dingin seperti biasanya. Udara sejuk pesisir pantai menembus kulitku. Kulihat Ayahku sudah pulang dari mencari ikan tadi malam.
            “Udah siap,Mad? Buruan nanti kamu telat loh! Nasi udah Ayah masak, makan dulu!” Teriak Ayahku yang mulai cerewet sejak Ibuku pergi meninggalkan kami selamanya.
            “Iya-iya,Yah” Aku bergegas merapikan pakaianku.
            “Pulang sekolah nanti, kamu langsung ke tempat bibi aja kalau takut sendirian di rumah. Ayah mungkin pulang sore soalnya sampan kita rusak belakangnya” Kata Ayahku sambil merapikan jarring ikan di teras rumah kami.
            “Aku mau main sama Adit aja di pantai. Kudengar dia dibelikan kamera baru oleh Papanya, kami mau coba foto-foto” Aku tersenyum penuh harap.
            Ayahku hanya tersenyum kecil. Aku memejamkan mata, meyakinkan hatiku untuk minta dibelikan kamera juga.
            “Tapi, hati-hati ya,Mad. Jangan sampai kamu ngotot minta dibelikan kamera juga.” Ayahku menatap dengan jelas.
            “Ya,Yah” Aku menjawab dengan kecewa karena Ayah telah mengetahui keinginanku.
            “Sudah makannya. Mamad berangkat ya,Yah?” Kataku sambil memasang sepatu lusuhku.
            “Iya. Hati-hati, belajar yang benar!” Kata Ayah.
            “Iya. Assalamu’alaikum” Aku mencium tangan  Ayah.
            “Wa’alaikumsalam” Ayahku tersenyum.
****
            Aku sekolah di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Bengkulu. Sekarang Aku duduk di bangku kelas 8. Aku begitu bodoh di kelas. Bahkan peringkatku mendapat rekor muri terbawah kata guruku. Aku sudah biasa mendapat gelar-gelar aneh di sekolah. Tetapi, itu tak menutup kemungkinan untukku berprestasi. Aku memang lemah di mata pelajaran sekolah. Tetapi, Aku sering mewakili sekolahku untuk lomba melukis dan menyanyi. Cita-citaku hanya ingin menjadi pelukis dan fotografer. Bakat melukis kudapat dari Almarhum Ibuku. Ibu sering mengajariku untuk melukis pantai, dan pemandangan lainnya. Untuk bakat menyanyi, kudapat dari Ayahku. Ayahku adalah mantan penyanyi orkes di kampung dulu. Aku sering bernyanyi bersama Ayah saat hendak tidur.
            Sesampainya di sekolah, kami belajar seperti biasa. Aku sudah berusaha untuk mendapatkan nilai tinggi. Tetapi, selalu gagal. 6 adalah nilai tertinggiku. Guru-guruku sudah sangat hafal denganku, Mamad bin Suparman.
            “Eh,Mad. Jadikan kita main ke Pantai hari ini?” Kata Adit teman sebangkuku.
            “Iya-iya jadi. Kamu bawa kameranya?” Tanyaku penasaran.
            “Iya ada ditasku. Nanti kita langsung ke rumahmu aja, setelah itu langsung main ke Pantai deh. Gimana?” Ajak Adit.
            “Aku sih mau-mau aja. Tapi, nanti Papamu marah. Anak dokter sepertimu mana boleh pergi tanpa pamit” Kataku sedikit kecewa.
            “Udah. Tenang aja. Aku udah kerja sama dengan pembantuku. Beres deh!” Adit tersenyum kecil.
            “Kamu yang tanggung jawab,ya?” Aku sedikit takut.
            “Sip! Tenang aja.” Adit mengangguk.
            “Mamad! Adit! Perhatikan Ibu! Jangan ngobrol terus. Khususnya kamu Mamad! Nanti rendah lagi nilaimu. Bodoh banget!” Guruku marah seperti biasanya.
            “Maaf,Bu”  Kataku pelan.
            Bel pulang pun tiba. Aku dan Adit bergegas menuju rumahku.
            “Eh,Dit. Kamu tau kan, rumahku jelek, bau, nggak ada AC nya” Kataku pelan saat berjalan bersama Adit.
            “Ah.. Biasa aja dong,Mad. Yang penting kan bias buat tinggal. Pasti nanti, saat kamu jadi pelukis terkenal kayak “Leonardo Da Vinci” kamu bias tinggal di rumah ber-AC juga. Hehe..” Adit tersenyum memberiku semangat.
            Setelah sampai Adit pun tampak tetap bahagia, walau Aku sedikit malu untuk mengajaknya masuk.
            “Masuk dulu,Dit. Aku ambil air putih dulu. Maaf ya dirumahku tidak ada sofa apalagi makanan yang enak” Jelasku.
            “Nggak apa-apa,Mad. Jangan canggung begitu dong. Ohya, Aku takut baju kita kotor. Aku pinjam kaosmu,ya?” Kata Adit.
            “Kamu yakin? Bajuku udah lusuh semua,Dit” Kataku sambil menyodorkan air putih ke arah Adit.
            “Nggak apa,Mad. Kan Cuma mau main ke Pantai bukan ke Mall.. Hehe..” Adit tertawa kecil, Aku pun tersenyum malu.
            Kami pun segera bersiap-siap. Adit tampak sangat lucu saat mengenakkan kaos lusuhku yang sedikit kebesaran di badannya.
            “Haha.. Buruan kita ke Pantai. Aku mau foto-foto sekarang” Adit memaksa.
            “Yaudah,yuk!” Kami bergegas menuju Pantai.
            Sesampainya di Pantai, Adit segera menghidupkan kameranya. Kubaca merk nya Canon. Aku mendekat, penasaran. Kulihat Adit mulai membidik, mengambil foto burung terbang, air pantai, bebatuan. Aku sangat penasaran.
            “Ganteng juga kamu” Adit diam-diam memotoku.
            “Haha.. dasar kamu,Dit! Itu,Dit, foto juga kepiting-kepiting di pasir. Menurutku kamu harus ambil dari sudut ini. Pencahayaannya bagus kalau dari sudut ini. Kepitingnya jadi tampak sangat hidup” Aku mulai serius.
            “Wah.. kamu ada bakat juga jadi fotografer,Mad. Mau coba ambil foto?’ Adit menyodorkan kameranya.
            “Hehe.. Aku takut rusak. Kamu aja,Dit” Aku tersenyum malu.
            “Nggak apa-apa. Tinggal kamu tekan tombol ini aja kalau udah pas gambarnya. Yang ini untuk memperbesar” Adit menjelaskan.
            Aku memegang kameranya dengan hati-hati dan mencoba memoto kepiting-kepiting kecil di pasir.          
            “Coba kulihat hasilnya” Adit mendekat.
            “Wahh… Keren juga bidikkan kamu,Mad. Pamanku punya studio di Jakarta, liburan nanti dia ke Bengkulu. Dia pasti senang kenalan sama kamu,Mad” Adit tersenyum.
            “Wah.. Nggak sabar,Dit. Makin kuat aja cita-citaku,Dit” Aku bersemangat.
            “Untuk kamu latihan, Aku punya kamera lagi. Tapi nggak sebagus yang ini. Besok Aku bawa ya” Kata Adit sambil memoto-moto Pantai.
            “Kamu serius,Dit? Tapi Papamu pasti tidak akan mengizinkan” Aku tersenyum kecil membuang pandangan.
            “Kamera itu hadiah ulang tahun dari bibiku tahun lalu. Papa pasti mengizinkan,kok. Kan Aku udah ada yang baru sekarang” Adit menyemangatiku.
            “Makasih banyak,Dit. Kamu baik banget” Aku menepuk bahu Adit.
            “Haha.. Iya pasti dong. Kita kan sahabat” Adit balas menepuk bahuku.
            Kami pun berfoto-foto dengan gaya yang aneh sambil tertawa bahagia.
            “Tuan!! Aduhh.. Bibi cariin daritadi ternyata Tuan disini. Papamu bentar lagi pulang. Mending sekarang kita pulang sebelum dapat masalah” Pembantu Adit menghampiri kami berdua.
            “Mad, kamu dengar kan? Aku pulang sekarang,ya?” Kata Adit.
            “Iya, ayo kita ke rumahku dulu, ambil barang-barang kamu” Aku dan Adit segera berlari.
            “Tuan… Hati-hati”
            Sesampainya di rumahku, Adit segera mengganti pakaiannya.
            “Mad, makasih ya untuk hari ini. Besok Aku bawa kameranya. Lain kali kita main air ya di Pantainya. Nanti Aku ajak keluargaku biar seru” Adit tetap bersemangat.
            “Iya,aman. Buruan,Dit. Aku takut Papa Adit marah.
            “Aku pulang ya,Mad. Dahh” Adit masuk mobil bersama pembantu dan sopir pribadinya.
            “Hati-hati,Dit” Aku melambaikan tangan.
            “Iya” Adit tetap menatapku dibalik kaca mobilnya.
           
            Sekarang tinggal Aku sendiri, Ayahku belum pulang. Kecemasanku mulai bersatu, cemas Adit mendapat masalah, cemas mengapa Ayahku belum pulang. Perutku mulai terasa sangat lapar. Kulihat hanya ada nasi putih di dapur. Ingin sekali Aku menghabiskannya, tapi Aku cemas Ayahku juga belum makan. Tetapi tak bisa dipungkiri, perasaan senang mulai datang ketika menunggu esok Aku akan segera punya kamera.
            “Assalamu’alaikum” Suara Ayah datang.
            “Wa’alaikumsalam” Jawabku dengan perasaan senang karena Ayahku pulang.
            “Udah lama pulang,Mad? Maaf lama Nak, sampan Ayah dirusak orang dengan sengaja kayaknya. Nasib oh Gustiku” Ayahku tampak begitu sedih. Aku hanya menunduk.
            “Minumlah dulu,Yah” Aku menyodorkan segelas air putih.
            “Iya, makasih” Jawab Ayahku singkat.
            “Mad, penghasilan Ayah makin hari makin tidak menentu. Banyak saingan di laut sekarang. Sampan kita sudah rusak berat, butuh dana yang cukup besar untuk memperbaikinya. Rumah kita juga udah mau roboh nampaknya. Kalau begini terus, Ayah berpikir untuk kembali ke kampung saja” Kata Ayah sambil mengusap kepalanya.
            “Ha? Jangan nyerah dong,Yah. Kalau kita ke kampung, Mamad malah akan jadi makin bodoh sekolahnya. Adit tadi kesini, dia mau ngasih Aku kamera, dia juga mau ngenalin Aku dengan pamannya yang seorang fotografer. Cita-citaku semakin dekat sekarang. Dan Aku akan berusaha agar di sekolah Aku akan mendapat nilai yang tinggi. Tapi tolong untuk kita tetap di sini,Yah” Kataku memohon pada Ayah. Ayah hanya menatapku.
            “Iya, Ayah akan pikirkan” Kata Ayahku cuek.
            “Ayah mau ninggalin pantai ini? Tempat Ayah, Ibu dan Aku bersama. Ayah taukan, Ibu sangat mencintai pantai ini? Kita harus tetap menjaga pantai ini. Inilah tempat Aku bermain, tempat Aku belajar. Aku akan sukses karena pantai ini!” Jawabku menegaskan kepada Ayah.
            “Kamu benar,Mad. Maafkan Ayah,ya?” Ayah menunduk membuang pandangan.
            “Aku mengerti betapa sulitnya hidup kita. Tapi, Ayah sendiri kan yang mengajarkan untuk tetap berusaha? Jadi laki-laki harus kuat!” Aku kembali menatap Ayah.
            Ayahku hanya mengangguk pelan. Lalu, perlahan menghilang ke arah dapur.
            “”Makanlah dulu,Mad. Nasi ini Ayah sisain buat kamu. Tenang saja, kita akan tetap di sini. Tidak usah kamu pikirkan,ya” Teriak Ayahku dari arah dapur.
            “Iya,Yah. Ayah makan juga. Aku nggak mau Ayah bohong lagi pura-pura sudah makan” Jawabku pelan.
****
            Keesokan hari di sekolah. Adit memberiku kamera yang dia katakan kemarin.
            “Terima kasih banyak,Dit. Aku akan menjaganya dan akan mengembalikan yang lebih bagus saat Aku berhasil menjadi fotografer yang sukses nanti” Kataku bersemangat menatap Adit.
            “Janji,ya? Ini harus jadi awal yang baik bagi kamu,Mad. Kuharap bisa berguna” Adit tersenyum.
            “Iya,Dit. Sekali lagi makasih banyak,ya. Ohya, Papamu marah nggak kemarin?” Tanyaku cemas.
            “Udah, tenang aja. Udah Aku atur itu” Kata Adit tertawa kecil sambil menepuk bahuku.
            Aku antusias mengikuti pelajaran hari ini. Aku sangat berusaha untuk mendapat nilai yang tinggi di sekolah.
****
            Setelah pulang sekolah, Aku langsung mencoba kamera pemberian Adit. Ayah tampak sangat penasaran. Aku pun diam-diam memotoi Ayah dengan ekspresi yang tak diduga. Aku hanya tertawa.
            “Foto Ayah,Mad!” Ayahku mulai berpose.
            Kamera ini penuh dengan foto-foto Ayah dan Aku. Aku pun mencoba serius dengan perlahan memoto para turis yang berkunjung ke Pantai Panjang. Mereka tampak menikmati.
            Kutulis di catatan kecilku :
“Hari ini adalah awal dari kesuksesanku. Aku memang bodoh. Aku memang miskin. Dan hari ini, mereka semua memang menertawakanku. Tapi tenang, besok, mereka akan melihat kesuksesanku karena Aku percaya bahwa kesuksesan orang datang dari jalan yang berbeda-beda”

Selesai