Lama nggak posting :D
Salam sahabat pena!! :)
Jangan lupa dilike dan dishare ya~~
PANTAI PANJANG SEPANJANG CITA-CITAKU
Karya : Pitria Elisa
“Melambai-lambai…
Nyiur dipantai…” Aku perlahan bernyanyi ditengah lamunanku. Aku ditemani oleh
gulungan-gulungan angin yang berhembus pelan. Ditemani juga oleh
gulungan-gulungan ombak yang perlahan-lahan mengikis bebatuan di tepinya. Aku
mulai mengkhayal tentang cita-citaku, keinginanku. Perlahan semakin indah,
semakin cerah.
“Nah,
ketahuan melamunin apa,Mad? Senyam-senyum aja Ayah liat!” Ayahku dating dan
memecahkan lamunanku.
“Eh?
Ada apa,Yah?” Jawabku kebingungan.
“Yeeh..
Dia bingung lagi. Itu kamu ngelamunin apa toh,Mad?” Ayahku duduk disampingku.
“Biasalah,Yah”
Jawabku menunduk.
“Apa?
Cita-citamu lagi?” Kata Ayahku sambil menepuk bahuku. Aku hanya mengangguk
pelan.
“Kan
udah Ayah bilang, jadi laki-laki harus semangat, harus kuat! Kalau memang kamu
mau meraih cita-citamu, ya kamu harus berusaha dong! Kalau melamun terus
begini, gimana mau tercapai?” Nasehat Ayahku.
Aku
tersenyum, mengangguk pelan dan berlari kencang ke pesisir pantai meninggalkan
Ayah.
“Eh?
Jangan jauh-jauh,Mad!” Teriak Ayah.
****
Pagi
ini, terasa begitu dingin seperti biasanya. Udara sejuk pesisir pantai menembus
kulitku. Kulihat Ayahku sudah pulang dari mencari ikan tadi malam.
“Udah
siap,Mad? Buruan nanti kamu telat loh! Nasi udah Ayah masak, makan dulu!”
Teriak Ayahku yang mulai cerewet sejak Ibuku pergi meninggalkan kami selamanya.
“Iya-iya,Yah”
Aku bergegas merapikan pakaianku.
“Pulang
sekolah nanti, kamu langsung ke tempat bibi aja kalau takut sendirian di rumah.
Ayah mungkin pulang sore soalnya sampan kita rusak belakangnya” Kata Ayahku
sambil merapikan jarring ikan di teras rumah kami.
“Aku
mau main sama Adit aja di pantai. Kudengar dia dibelikan kamera baru oleh
Papanya, kami mau coba foto-foto” Aku tersenyum penuh harap.
Ayahku
hanya tersenyum kecil. Aku memejamkan mata, meyakinkan hatiku untuk minta
dibelikan kamera juga.
“Tapi,
hati-hati ya,Mad. Jangan sampai kamu ngotot minta dibelikan kamera juga.”
Ayahku menatap dengan jelas.
“Ya,Yah”
Aku menjawab dengan kecewa karena Ayah telah mengetahui keinginanku.
“Sudah
makannya. Mamad berangkat ya,Yah?” Kataku sambil memasang sepatu lusuhku.
“Iya.
Hati-hati, belajar yang benar!” Kata Ayah.
“Iya.
Assalamu’alaikum” Aku mencium tangan
Ayah.
“Wa’alaikumsalam”
Ayahku tersenyum.
****
Aku
sekolah di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Bengkulu. Sekarang
Aku duduk di bangku kelas 8. Aku begitu bodoh di kelas. Bahkan peringkatku
mendapat rekor muri terbawah kata guruku. Aku sudah biasa mendapat gelar-gelar
aneh di sekolah. Tetapi, itu tak menutup kemungkinan untukku berprestasi. Aku
memang lemah di mata pelajaran sekolah. Tetapi, Aku sering mewakili sekolahku
untuk lomba melukis dan menyanyi. Cita-citaku hanya ingin menjadi pelukis dan
fotografer. Bakat melukis kudapat dari Almarhum Ibuku. Ibu sering mengajariku
untuk melukis pantai, dan pemandangan lainnya. Untuk bakat menyanyi, kudapat
dari Ayahku. Ayahku adalah mantan penyanyi orkes di kampung dulu. Aku sering
bernyanyi bersama Ayah saat hendak tidur.
Sesampainya
di sekolah, kami belajar seperti biasa. Aku sudah berusaha untuk mendapatkan
nilai tinggi. Tetapi, selalu gagal. 6 adalah nilai tertinggiku. Guru-guruku sudah
sangat hafal denganku, Mamad bin Suparman.
“Eh,Mad.
Jadikan kita main ke Pantai hari ini?” Kata Adit teman sebangkuku.
“Iya-iya
jadi. Kamu bawa kameranya?” Tanyaku penasaran.
“Iya
ada ditasku. Nanti kita langsung ke rumahmu aja, setelah itu langsung main ke
Pantai deh. Gimana?” Ajak Adit.
“Aku
sih mau-mau aja. Tapi, nanti Papamu marah. Anak dokter sepertimu mana boleh
pergi tanpa pamit” Kataku sedikit kecewa.
“Udah.
Tenang aja. Aku udah kerja sama dengan pembantuku. Beres deh!” Adit tersenyum
kecil.
“Kamu
yang tanggung jawab,ya?” Aku sedikit takut.
“Sip!
Tenang aja.” Adit mengangguk.
“Mamad!
Adit! Perhatikan Ibu! Jangan ngobrol terus. Khususnya kamu Mamad! Nanti rendah
lagi nilaimu. Bodoh banget!” Guruku marah seperti biasanya.
“Maaf,Bu” Kataku pelan.
Bel
pulang pun tiba. Aku dan Adit bergegas menuju rumahku.
“Eh,Dit.
Kamu tau kan, rumahku jelek, bau, nggak ada AC nya” Kataku pelan saat berjalan
bersama Adit.
“Ah..
Biasa aja dong,Mad. Yang penting kan bias buat tinggal. Pasti nanti, saat kamu
jadi pelukis terkenal kayak “Leonardo Da
Vinci” kamu bias tinggal di rumah ber-AC juga. Hehe..” Adit tersenyum
memberiku semangat.
Setelah
sampai Adit pun tampak tetap bahagia, walau Aku sedikit malu untuk mengajaknya
masuk.
“Masuk
dulu,Dit. Aku ambil air putih dulu. Maaf ya dirumahku tidak ada sofa apalagi
makanan yang enak” Jelasku.
“Nggak
apa-apa,Mad. Jangan canggung begitu dong. Ohya, Aku takut baju kita kotor. Aku
pinjam kaosmu,ya?” Kata Adit.
“Kamu
yakin? Bajuku udah lusuh semua,Dit” Kataku sambil menyodorkan air putih ke arah
Adit.
“Nggak
apa,Mad. Kan Cuma mau main ke Pantai bukan ke Mall.. Hehe..” Adit tertawa
kecil, Aku pun tersenyum malu.
Kami
pun segera bersiap-siap. Adit tampak sangat lucu saat mengenakkan kaos lusuhku
yang sedikit kebesaran di badannya.
“Haha..
Buruan kita ke Pantai. Aku mau foto-foto sekarang” Adit memaksa.
“Yaudah,yuk!”
Kami bergegas menuju Pantai.
Sesampainya
di Pantai, Adit segera menghidupkan kameranya. Kubaca merk nya Canon. Aku mendekat, penasaran. Kulihat
Adit mulai membidik, mengambil foto burung terbang, air pantai, bebatuan. Aku
sangat penasaran.
“Ganteng
juga kamu” Adit diam-diam memotoku.
“Haha..
dasar kamu,Dit! Itu,Dit, foto juga kepiting-kepiting di pasir. Menurutku kamu
harus ambil dari sudut ini. Pencahayaannya bagus kalau dari sudut ini.
Kepitingnya jadi tampak sangat hidup” Aku mulai serius.
“Wah..
kamu ada bakat juga jadi fotografer,Mad. Mau coba ambil foto?’ Adit menyodorkan
kameranya.
“Hehe..
Aku takut rusak. Kamu aja,Dit” Aku tersenyum malu.
“Nggak
apa-apa. Tinggal kamu tekan tombol ini aja kalau udah pas gambarnya. Yang ini
untuk memperbesar” Adit menjelaskan.
Aku
memegang kameranya dengan hati-hati dan mencoba memoto kepiting-kepiting kecil
di pasir.
“Coba
kulihat hasilnya” Adit mendekat.
“Wahh…
Keren juga bidikkan kamu,Mad. Pamanku punya studio di Jakarta, liburan nanti
dia ke Bengkulu. Dia pasti senang kenalan sama kamu,Mad” Adit tersenyum.
“Wah..
Nggak sabar,Dit. Makin kuat aja cita-citaku,Dit” Aku bersemangat.
“Untuk
kamu latihan, Aku punya kamera lagi. Tapi nggak sebagus yang ini. Besok Aku
bawa ya” Kata Adit sambil memoto-moto Pantai.
“Kamu
serius,Dit? Tapi Papamu pasti tidak akan mengizinkan” Aku tersenyum kecil
membuang pandangan.
“Kamera
itu hadiah ulang tahun dari bibiku tahun lalu. Papa pasti mengizinkan,kok. Kan
Aku udah ada yang baru sekarang” Adit menyemangatiku.
“Makasih
banyak,Dit. Kamu baik banget” Aku menepuk bahu Adit.
“Haha..
Iya pasti dong. Kita kan sahabat” Adit balas menepuk bahuku.
Kami
pun berfoto-foto dengan gaya yang aneh sambil tertawa bahagia.
“Tuan!!
Aduhh.. Bibi cariin daritadi ternyata Tuan disini. Papamu bentar lagi pulang.
Mending sekarang kita pulang sebelum dapat masalah” Pembantu Adit menghampiri
kami berdua.
“Mad,
kamu dengar kan? Aku pulang sekarang,ya?” Kata Adit.
“Iya,
ayo kita ke rumahku dulu, ambil barang-barang kamu” Aku dan Adit segera
berlari.
“Tuan…
Hati-hati”
Sesampainya
di rumahku, Adit segera mengganti pakaiannya.
“Mad,
makasih ya untuk hari ini. Besok Aku bawa kameranya. Lain kali kita main air ya
di Pantainya. Nanti Aku ajak keluargaku biar seru” Adit tetap bersemangat.
“Iya,aman.
Buruan,Dit. Aku takut Papa Adit marah.
“Aku
pulang ya,Mad. Dahh” Adit masuk mobil bersama pembantu dan sopir pribadinya.
“Hati-hati,Dit”
Aku melambaikan tangan.
“Iya”
Adit tetap menatapku dibalik kaca mobilnya.
Sekarang
tinggal Aku sendiri, Ayahku belum
pulang. Kecemasanku mulai bersatu, cemas Adit mendapat masalah, cemas mengapa
Ayahku belum pulang. Perutku mulai terasa sangat lapar. Kulihat hanya ada nasi
putih di dapur. Ingin sekali Aku menghabiskannya, tapi Aku cemas Ayahku juga belum
makan. Tetapi tak bisa dipungkiri, perasaan senang mulai datang ketika menunggu
esok Aku akan segera punya kamera.
“Assalamu’alaikum” Suara Ayah datang.
“Wa’alaikumsalam” Jawabku dengan perasaan senang karena
Ayahku pulang.
“Udah lama pulang,Mad? Maaf lama Nak, sampan Ayah dirusak
orang dengan sengaja kayaknya. Nasib oh Gustiku” Ayahku tampak begitu sedih.
Aku hanya menunduk.
“Minumlah dulu,Yah” Aku menyodorkan segelas air putih.
“Iya, makasih” Jawab Ayahku singkat.
“Mad, penghasilan Ayah makin hari makin tidak menentu.
Banyak saingan di laut sekarang. Sampan kita sudah rusak berat, butuh dana yang
cukup besar untuk memperbaikinya. Rumah kita juga udah mau roboh nampaknya.
Kalau begini terus, Ayah berpikir untuk kembali ke kampung saja” Kata Ayah sambil
mengusap kepalanya.
“Ha? Jangan nyerah dong,Yah. Kalau kita ke kampung, Mamad
malah akan jadi makin bodoh sekolahnya. Adit tadi kesini, dia mau ngasih Aku
kamera, dia juga mau ngenalin Aku dengan pamannya yang seorang fotografer.
Cita-citaku semakin dekat sekarang. Dan Aku akan berusaha agar di sekolah Aku
akan mendapat nilai yang tinggi. Tapi tolong untuk kita tetap di sini,Yah”
Kataku memohon pada Ayah. Ayah hanya menatapku.
“Iya, Ayah akan pikirkan” Kata Ayahku cuek.
“Ayah mau ninggalin pantai ini? Tempat Ayah, Ibu dan Aku
bersama. Ayah taukan, Ibu sangat mencintai pantai ini? Kita harus tetap menjaga
pantai ini. Inilah tempat Aku bermain, tempat Aku belajar. Aku akan sukses
karena pantai ini!” Jawabku menegaskan kepada Ayah.
“Kamu benar,Mad. Maafkan Ayah,ya?” Ayah menunduk membuang
pandangan.
“Aku mengerti betapa sulitnya hidup kita. Tapi, Ayah
sendiri kan yang mengajarkan untuk tetap berusaha? Jadi laki-laki harus kuat!”
Aku kembali menatap Ayah.
Ayahku hanya mengangguk pelan. Lalu, perlahan menghilang
ke arah dapur.
“”Makanlah dulu,Mad. Nasi ini Ayah sisain buat kamu.
Tenang saja, kita akan tetap di sini. Tidak usah kamu pikirkan,ya” Teriak
Ayahku dari arah dapur.
“Iya,Yah. Ayah makan juga. Aku nggak mau Ayah bohong lagi
pura-pura sudah makan” Jawabku pelan.
****
Keesokan hari di sekolah. Adit memberiku kamera yang dia
katakan kemarin.
“Terima kasih banyak,Dit. Aku akan menjaganya dan akan
mengembalikan yang lebih bagus saat Aku berhasil menjadi fotografer yang sukses
nanti” Kataku bersemangat menatap Adit.
“Janji,ya? Ini harus jadi awal yang baik bagi kamu,Mad.
Kuharap bisa berguna” Adit tersenyum.
“Iya,Dit. Sekali lagi makasih banyak,ya. Ohya, Papamu
marah nggak kemarin?” Tanyaku cemas.
“Udah, tenang aja. Udah Aku atur itu” Kata Adit tertawa
kecil sambil menepuk bahuku.
Aku antusias mengikuti pelajaran hari ini. Aku sangat
berusaha untuk mendapat nilai yang tinggi di sekolah.
****
Setelah pulang sekolah, Aku langsung mencoba kamera
pemberian Adit. Ayah tampak sangat penasaran. Aku pun diam-diam memotoi Ayah
dengan ekspresi yang tak diduga. Aku hanya tertawa.
“Foto Ayah,Mad!” Ayahku mulai berpose.
Kamera ini penuh dengan foto-foto Ayah dan Aku. Aku pun
mencoba serius dengan perlahan memoto para turis yang berkunjung ke Pantai
Panjang. Mereka tampak menikmati.
Kutulis di catatan kecilku :
“Hari ini adalah awal dari kesuksesanku. Aku memang
bodoh. Aku memang miskin. Dan hari ini, mereka semua memang menertawakanku.
Tapi tenang, besok, mereka akan melihat kesuksesanku karena Aku percaya bahwa
kesuksesan orang datang dari jalan yang berbeda-beda”
Selesai