Sabtu, 22 November 2014

CERPEN AKU MEMANG ANAK TERMINAL



Sebelumnya terimakasih buat semua teman-teman dan keluarga yang telah mendukung saya dan akhirnya berhasil :D

Maaf jika cerpennya sedikit gaje :v

Jangan lupa di like,share ya :)


HAPPY READ IT!!


AKU MEMANG ANAK TERMINAL
Karya : Pitria Elisa
            Angin berhembus kencang, menerbangkan plastik-plastik kecil di pinggir jalan, mengangkat naik debu-debu kotor yang perlahan meruyak masuk kesela-sela mata pejalan kaki, menghembuskan semerbak bau-bau tak sedap dari celah-celah lantai lapak warga.
            Angkutan kota warna-warni tak hentinya melintas di jalanan sempit yang dipenuhi sayur-mayur layu. Para pedagang berkicau menawarkan barang dagangannya, musik dangdut di dalam angkutan kota nyaring mengganggu telinga. Panas terik tak menghentikan aktivitas yang memang sudah biasa dilakukan. Ya, inilah pasar. Kegiatan jual beli yang identik dengan lingkungan yang kumuh dan bau. Ditambah lagi dengan lalu lintas angkutan kota yang menambah polusi disekitarnya.
            Namun tak bisa dipungkiri, bahwa ribuan orang menggantungkan hidupnya dari pasar ini. Pada umumnya, orang berpendidikan rendahlah yang mau tidak mau mengabdi disini, di pasar atau di terminal. Termasuk Aku, anak seorang kuli angkut di Pasar Panorama. Sudah sekitar 6 tahun keluargaku menggantungkan diri dari pasar ini. Setiap jam 04.00 pagi, ayahku selalu bangun dan bergegas menuju pasar di dekat terminal, mengharapkan ada yang membutuhkan jasanya mengangkut barang-barang jualan pedagang di pasar.
****
            Hari berganti hari, belum ada yang istimewa terjadi. Pagi ini, matahari rasanya malu untuk menampakkan diri. Adzan subuh telah berkumandang. Ayahku juga sudah basa tak terlihat lagi ketika Aku bangun. Aktivitas seperti ini tanpa kusadari berjalan sangatlah biasa.
            “Vi, Apo kerjo kau,nak? Bantu Ibu dulu sini!” Teriak Ibuku yang memecahkan lamunanku.
            “Ee… Iyo,Buk.” Aku bergegas merapikan mukenahku dan menghampiri Ibu.
            “Ngapo,Buk?” Tanyaku pelan.
            “Nah, ini Ibu buat nasi goreng. Kau bawak ke sekolah,yo? Jual ke kawan-kawan kau Rp.4.000 per bungkus.” Perintah ibuku penuh harap.
“Ohh.. yo,Buk.” Jawabku tersenyum.
            “Yaudah, mandilah dulu, kelak angkot penuh kalu lah siang!” Kata Ibuku sambil merapikan piring-piring di rak yang sedikit rapuh itu.
            Kubalas anggukkan dan langsung bergegas menjalankan perintah Ibu.
****
            Dengan seragam putih abu-abu, ditambah jilbab putih yang sedikit lusuh ini, Aku berjalan menuju terminal untuk mencari angkutan kota menuju sekolahku. Hari ini berbeda, bahuku terasa sangat pegal membawa buku-buku dan nasi titipan Ibu tadi. Di perjalanan, Aku berharap nasi ini akan habis terjual, Aku ingin melihat alangkah bahagianya Ibuku nanti.
            Sesampainya di terminal, Aku tak mendapati satu angkot pun yang siap menampungku. Jika pun ada, hanya angkutan kota yang berbeda arah dengan sekolahku Beberapa menit kemudian…
            “Sawah lebar..! Sawah lebar...!” Teriak tukang angkot mencari penumpang.
            Aku pun bergegas naik, takut angkotnya kepenuhan lagi. Sesak. Panas. Pagi-pagi pun keringatku sudah bercucuran. Musik dangdut ditambah dengan Ibu-Ibu yang asik mengobrol terpadu menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan telingaku. Seperempat jam, Aku harus mempertahankan posisi seperti ini.
Setelah sampai di depan gerbang sekolah, kurapikan lagi seragamku. Aku pun masuk dengan terlebih dahulu menyalami guru-guru yang biasanya berbaris rap menunggu para siswa.
            “Apa itu,Vi?” tanya Bu Ima, guru matematikaku.
            “Nasi goreng,Bu. Via jual Rp.4.000 per bungkus.” Jawabku sambil memperlihatkan ke Ibu Ima.
            “Ibu beli satu,ya? Kamu letakkan aja di meja Ibu. Nanti Ibu bayar.” Pinta Ibu Ima.
            “Baik,Bu. Terima kasih banyak,Bu.” Aku bergegas menuju meja Ibu Ima pelanggan pertamaku.
            Setelah keluar dari ruang guru, Aku tidak sengaja bertemu dengan sahabatku,Adit.
            “Ehh,Via? Apa itu?” Tanyanya menunjuk plastik putih yang berisi nasi goreng tadi.
            “Nasi goreng,Dit. Beli ya! Rp.4.000 per bungkus.” Kataku menawarkan ke Adit.
            “Boleh juga. Tapi uangku di tas. Nanti,ya. Sini Aku bantu. Kasihan kamunya, kan berat.” Kata Adit tertawa kecil.
            “Haha.. Makasih banyak,Dit.” Jawabku.
            Sesampainya dikelas…
            “Kawan-kawan! Belum sarapan,kan? Beli nasi goreng Via aja, Rp.4.000 per bungkus.” Teriak Adit yang tak kusangka-sangka.
            Teman-temanku nampaknya penasaran dan segera menghampiriku.
            “Rp.4.000,Vi? Rp.3.000 ajalah!” Sari temanku menawar.
            “Rugi nanti,Sar.. hehe” Jawabku.
            “Iya-iya. Aku satu,ya!” Sari membeli nasi gorengku
            Tak butuh waktu lama, nasi gorengku pun habis terjual. Ini berkat bantuan Adit, sahabatku. Aku merapikan uang hasil jualanku.
            “Wahh… Lumayan,Vi. Kalau tiap hari begini, bisalah traktir Aku makan.” Goda adit bercanda.
            “Aman.” Jawabku tersenyum kecil.
            “Ini sekolah, bukan pasar!” Celetuk Ayu dari sudut kelas.
            “Via kan jualan dengan cara yang baik-baik!” Jawab Adit lagi.
“Alah!  Kalian sama aja. Tinggal di Pasar, di Terminal. Ya, bawaanya gini apa aja dijual! Nanti lain lagi yang dijual!” tambah Ayu dengan senyum sinis dan menghina.
“Maksud kamu apa ?!” Aku berusaha mempertahankan perasaan tenang.
“Ah, sudahlah! Ayahmu kuli, Ibumu jualan. Ya, anaknya nggak jauh-jauh dari kuli sama jualan. Haha..” Kata Ayu yang mengiris hati dan pikiranku.
“Jaga omongan,ya! Via teman kita, nggak sepantasnya kamu ngomong gitu!” Teman-temanku mulai rusuh dan berdebat.
“Emang kalian mau berteman dengan Via yang bau itu? Kita kan nggak tahu mungkin aja nasi gorengnya itu nasi bekas lagi!” Ayu terus memanasiku.
“Aku tetap bersikap diam, duduk di kursiku dan seolah tak mendengar perkataan Ayu. Jujur, ingin sekali Aku luapkan amarahku. Tetapi Aku berpikir alangkah sedihnya Ibuku nanti jika anaknya membuat masalah di sekolah.
“Kenapa diam aja? Tuh terbuktikan kalau Via jualan nasi bekas. Udah kembalikan aja nasinya. Emang kalian mau keracunan?” Ayu terus berkoar tetapi untungnya teman-temanku tidak ada lagi yang meresponnya. Ayu bertambah marah dan kesal. Dan akhirnya terpaksa diam saat Bu Ima, guru matematika kami masuk ke kelas. Ketua kelas pun memimpn salam dan do’a.
“Baiklah, sebelum kita belajar. Ibu mau bicara sama Via dulu.” Kata Ibu Ima.
“Nasinya enak,Vi. Guru-guru mau mesan buat besok,ya.” Ibu Ima menghampiriku dan memberi uang Rp.10.000.
“Kembaliannya ambil aja.” Ibu Ima tersenyum.
“Dan untuk kalian, Via adalah salah satu contoh yang baik bagi kita semua. Jangan pernah malu untuk melakukan hal baik.” Jelas Bu Ima.
“Baik,Bu” Teman-temanku serentak menjawab.
Ayu tampak sangat kesal dan marah. Wajahnya merah ditambah tatapan sinis ke arahku. Kubalas dengan senyuman.
Pelajaran pun dimulai. Hari ini sangat menyenangkan karena pelajaran terasa sangat mudah Aku terima. Teman-temanku mulai sibuk memintaku menjelaskan kembali saat bel istirahat tiba. Ayu juga tampak kesulitan. Setelah selesai menjelaskan dengan teman-teman, Aku menghampiri Ayu yang duduk sendiri dengan permen dimulutya. Aku menghampiri dan duduk disebelahnya. Ia tampak marah dan kesal lagi, hanya saja tak ada kata yang keluar dari mulut sinisnya.
“Ayu, Aku minta maaf ya kalau ada hal yang membuat kamu membenciku.” Kataku pelan sambil menatapnya. Kulihat Ayu tidak menghiraukan. Ia tetap sibuk makan permen.
“Via, ke kantin,yuk!” Tiba-tiba Adit datang.
“Iya sebentr,Dit.” Aku berdiri dan mengarah ke arah tasku.
“Ngapain lagi,Vi?” Adit penasaran
“Yu, ini catatan matematikaku. Barang kali kamu membutuhkannya nanti. Ambil aja, nanti Aku catat lagi punyaku.” Kataku sambil menyodorkan catatan matematikaku.
“kamu apa-apaan sh,Vi? Orang kayak Ayu nggak usah dipikirin.” Kata Adit kesal.
“Udah, ayo ke kantin!” Kutarik tangan Adit meninggalkan Ayu sendirian di kelas.
Setelah bel masuk, Ayu tetap tidak memberi respon apa-apa. Aku juga tidak tahu buku catatan matematika tadi ada dimana sekarang.
“Kira-kira buku tadi dibuangnya atau dia simpan ya?” Tanya hatiku penasaran.
Dilembar paling belakang buku itu kutulis:
Maafkan Aku,Yu. Maaf kalau Aku membuat kamu membenciku. Ayahku memang kuli dan Ibuku memang berjualan di pasar. Tapi perlu kamu ketahui, Aku sangat sayang dengan mereka. Dan Aku tidak pernah malu karena Aku memang anak terminal. Kuharap kita bisa berteman.”
****
Keesokan harinya, tak ada perbedaan. Adit lagi-lagi membantuku menjual nasi goreng di sekolah. Setelah bel masuk, kami belajar seperti biasa pula. Aku kebingungan saat mendapati sebuah buku paket matematika bertuliskan nama Ayu terletak di dalam laci mejaku.
Kuperhatikan buku itu, setelah kubuka, kudapati sebuah kertas bertuliskan:
“Akulah yang seharusnya meminta maaf. Baiklah kita berteman. Pulang sekolah nanti Aku pengen kamu dan Adit ajak Aku ke terminal. Aku pengen jalan-jalan dan mencai sesuatu yang menarik disana.”
Aku tertawa kecil dan tersenyum lebar ke arah Ayu. Adit tampak penasaran dan menghampiriku.
“Kenapa,Vi?” Tanya Adit.
“Baca aja, tap dalam hati aja. Hehe..” Kataku sambil menyodorkan kertas tadi. Adit hanya tersenyum kecil.
“Gimana,Dit? Kamu mau kan?” Tanyaku.
“Boleh juga, tapi kita harus hati-hati siapa tahu ini hanya rencana keji dia aja.” Hasut Adit.
“Hush! Pikiran kamu kok gitu.” Kataku sambil menepuk pundaknya.
****
Setelah pulang sekolah, Ayu menghampiri Aku dan Adit yang sedang merapikan buku.
“Ayo! Waktuku nggak banyak nih.” Ayu sangat bersemangat.
Aku dan Adit hanya mengangguk dan tersenyum kebingungan.
Kami bertiga menuju terminal dengan naik angkutan kota. Kulihat Ayu tampak kehausan. Aku dan Adit lagi-lagi hanya tersenyum.
Setelah sampai, Ayu tampak menikmati.
“Inilah Pasar, dan itu terminal. Panas. Bau. Mending kita pulang aja deh.” Pintakku pada Ayu dan Adit.
“Kamu gimana sih! Ayo kita cari apa yang seru di sini. Kudengar-dengar bakso disni enak. Makan yuk!” Ayu tampak sangat bersemangat dan bersahabat.
“Yaudah, ayo-ayo!” Adit berlari pelan meninggalkan kami. Aku dan Ayu pun tak mau kalah dari laki-laki berkacamata itu.
Kami bercanda. Tertawa bersama di antara lapak-lapak warga yang sempit dan terksean kumuh. Tak pernah kusangka hal ini akan terjadi. Ingin rasanya Aku menangis bahagia. Hingga Aku tertinggal dari mereka.
“Vi, kamu lambat banget larinya! Ayo liat tuh Adit udah jauh.” Kata Ayu menarik tanganku.
“Iya, ayo-ayo!” Kami berlari mengejar Adit.
Kami pun sampa di sebuah warung bakso yang lumayan ramai pembelinya. Nafas kami tersengal-sengal disertai tawa bahagia.
Kami bercanda dengan mengacak-acak rambut Adit. Adit tampak kesal.
“Ohya, Aku serius nih, Aku meminta maaf ya sama kalian. Aku memang nggak bisa jaga omongan. Tapi, Aku akan berusaha kok untuk berubah. Kalian mau kan terus berteman denganku?” Ayu tersenyum kecil penuh harap.
“Mau dong, bahkan kita akan bersahabat, ya kan, Dit?” Kataku meyakinkan.
“Iya, amanlah. Tapi rapikan dulu rambutku!” Jawab Adit yang sibuk dengan rambutnya.
Aku dan Ayu hanya tertawa.
Hari ini, hari yang tidak pernah kusangka. Orang yang sangat membenciku bahkan kini menjadi sahabat baikku. Orang yang membenci tempat tinggalku bahkan kini tak bisa jauh. Maka sesungguhnya balaslah kejahatan dengan kebaikkan karena apapun yang baik akan menghaslkan sesuatu yang baik pula. Itu.


Selesai