Sebelumnya terimakasih buat semua teman-teman dan keluarga yang telah mendukung saya dan akhirnya berhasil :D
Maaf jika cerpennya sedikit gaje :v
Jangan lupa di like,share ya :)
HAPPY READ IT!!
AKU
MEMANG ANAK TERMINAL
Karya : Pitria Elisa
Angin
berhembus kencang, menerbangkan plastik-plastik kecil di pinggir jalan,
mengangkat naik debu-debu kotor yang perlahan meruyak masuk kesela-sela mata
pejalan kaki, menghembuskan semerbak bau-bau tak sedap dari celah-celah lantai
lapak warga.
Angkutan
kota warna-warni tak hentinya melintas di jalanan sempit yang dipenuhi
sayur-mayur layu. Para pedagang berkicau menawarkan barang dagangannya, musik
dangdut di dalam angkutan kota nyaring mengganggu telinga. Panas terik tak
menghentikan aktivitas yang memang sudah biasa dilakukan. Ya, inilah pasar.
Kegiatan jual beli yang identik dengan lingkungan yang kumuh dan bau. Ditambah
lagi dengan lalu lintas angkutan kota yang menambah polusi disekitarnya.
Namun
tak bisa dipungkiri, bahwa ribuan orang menggantungkan hidupnya dari pasar ini.
Pada umumnya, orang berpendidikan rendahlah yang mau tidak mau mengabdi disini,
di pasar atau di terminal. Termasuk Aku, anak seorang kuli angkut di Pasar
Panorama. Sudah sekitar 6 tahun keluargaku menggantungkan diri dari pasar ini.
Setiap jam 04.00 pagi, ayahku selalu bangun dan bergegas menuju pasar di dekat
terminal, mengharapkan ada yang membutuhkan jasanya mengangkut barang-barang
jualan pedagang di pasar.
****
Hari
berganti hari, belum ada yang istimewa terjadi. Pagi ini, matahari rasanya malu
untuk menampakkan diri. Adzan subuh telah berkumandang. Ayahku juga sudah basa
tak terlihat lagi ketika Aku bangun. Aktivitas seperti ini tanpa kusadari
berjalan sangatlah biasa.
“Vi,
Apo kerjo kau,nak? Bantu Ibu dulu sini!” Teriak Ibuku yang memecahkan
lamunanku.
“Ee…
Iyo,Buk.” Aku bergegas merapikan mukenahku dan menghampiri Ibu.
“Ngapo,Buk?”
Tanyaku pelan.
“Nah,
ini Ibu buat nasi goreng. Kau bawak ke sekolah,yo? Jual ke kawan-kawan kau
Rp.4.000 per bungkus.” Perintah ibuku penuh harap.
“Ohh.. yo,Buk.” Jawabku tersenyum.
“Yaudah,
mandilah dulu, kelak angkot penuh kalu lah siang!” Kata Ibuku sambil merapikan
piring-piring di rak yang sedikit rapuh itu.
Kubalas
anggukkan dan langsung bergegas menjalankan perintah Ibu.
****
Dengan
seragam putih abu-abu, ditambah jilbab putih yang sedikit lusuh ini, Aku
berjalan menuju terminal untuk mencari angkutan kota menuju sekolahku. Hari ini
berbeda, bahuku terasa sangat pegal membawa buku-buku dan nasi titipan Ibu
tadi. Di perjalanan, Aku berharap nasi ini akan habis terjual, Aku ingin
melihat alangkah bahagianya Ibuku nanti.
Sesampainya
di terminal, Aku tak mendapati satu angkot pun yang siap menampungku. Jika pun
ada, hanya angkutan kota yang berbeda arah dengan sekolahku Beberapa menit
kemudian…
“Sawah
lebar..! Sawah lebar...!” Teriak tukang angkot mencari penumpang.
Aku
pun bergegas naik, takut angkotnya kepenuhan lagi. Sesak. Panas. Pagi-pagi pun
keringatku sudah bercucuran. Musik dangdut ditambah dengan Ibu-Ibu yang asik
mengobrol terpadu menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan telingaku.
Seperempat jam, Aku harus mempertahankan posisi seperti ini.
Setelah sampai di depan gerbang sekolah, kurapikan
lagi seragamku. Aku pun masuk dengan terlebih dahulu menyalami guru-guru yang
biasanya berbaris rap menunggu para siswa.
“Apa
itu,Vi?” tanya Bu Ima, guru matematikaku.
“Nasi
goreng,Bu. Via jual Rp.4.000 per bungkus.” Jawabku sambil memperlihatkan ke Ibu
Ima.
“Ibu
beli satu,ya? Kamu letakkan aja di meja Ibu. Nanti Ibu bayar.” Pinta Ibu Ima.
“Baik,Bu.
Terima kasih banyak,Bu.” Aku bergegas menuju meja Ibu Ima pelanggan pertamaku.
Setelah
keluar dari ruang guru, Aku tidak sengaja bertemu dengan sahabatku,Adit.
“Ehh,Via?
Apa itu?” Tanyanya menunjuk plastik putih yang berisi nasi goreng tadi.
“Nasi
goreng,Dit. Beli ya! Rp.4.000 per bungkus.” Kataku menawarkan ke Adit.
“Boleh
juga. Tapi uangku di tas. Nanti,ya. Sini Aku bantu. Kasihan kamunya, kan
berat.” Kata Adit tertawa kecil.
“Haha..
Makasih banyak,Dit.” Jawabku.
Sesampainya
dikelas…
“Kawan-kawan!
Belum sarapan,kan? Beli nasi goreng Via aja, Rp.4.000 per bungkus.” Teriak Adit
yang tak kusangka-sangka.
Teman-temanku
nampaknya penasaran dan segera menghampiriku.
“Rp.4.000,Vi?
Rp.3.000 ajalah!” Sari temanku menawar.
“Rugi
nanti,Sar.. hehe” Jawabku.
“Iya-iya.
Aku satu,ya!” Sari membeli nasi gorengku
Tak
butuh waktu lama, nasi gorengku pun habis terjual. Ini berkat bantuan Adit,
sahabatku. Aku merapikan uang hasil jualanku.
“Wahh…
Lumayan,Vi. Kalau tiap hari begini, bisalah traktir Aku makan.” Goda adit
bercanda.
“Aman.”
Jawabku tersenyum kecil.
“Ini
sekolah, bukan pasar!” Celetuk Ayu dari sudut kelas.
“Via
kan jualan dengan cara yang baik-baik!” Jawab Adit lagi.
“Alah! Kalian sama aja. Tinggal di Pasar, di
Terminal. Ya, bawaanya gini apa aja dijual! Nanti lain lagi yang dijual!”
tambah Ayu dengan senyum sinis dan menghina.
“Maksud kamu apa ?!”
Aku berusaha mempertahankan perasaan tenang.
“Ah, sudahlah! Ayahmu
kuli, Ibumu jualan. Ya, anaknya nggak jauh-jauh dari kuli sama jualan. Haha..”
Kata Ayu yang mengiris hati dan pikiranku.
“Jaga omongan,ya! Via
teman kita, nggak sepantasnya kamu ngomong gitu!” Teman-temanku mulai rusuh dan
berdebat.
“Emang kalian mau
berteman dengan Via yang bau itu? Kita kan nggak tahu mungkin aja nasi
gorengnya itu nasi bekas lagi!” Ayu terus memanasiku.
“Aku tetap bersikap
diam, duduk di kursiku dan seolah tak mendengar perkataan Ayu. Jujur, ingin
sekali Aku luapkan amarahku. Tetapi Aku berpikir alangkah sedihnya Ibuku nanti
jika anaknya membuat masalah di sekolah.
“Kenapa diam aja? Tuh
terbuktikan kalau Via jualan nasi bekas. Udah kembalikan aja nasinya. Emang
kalian mau keracunan?” Ayu terus berkoar tetapi untungnya teman-temanku tidak
ada lagi yang meresponnya. Ayu bertambah marah dan kesal. Dan akhirnya terpaksa
diam saat Bu Ima, guru matematika kami masuk ke kelas. Ketua kelas pun memimpn
salam dan do’a.
“Baiklah, sebelum kita
belajar. Ibu mau bicara sama Via dulu.” Kata Ibu Ima.
“Nasinya enak,Vi.
Guru-guru mau mesan buat besok,ya.” Ibu Ima menghampiriku dan memberi uang
Rp.10.000.
“Kembaliannya ambil
aja.” Ibu Ima tersenyum.
“Dan untuk kalian, Via
adalah salah satu contoh yang baik bagi kita semua. Jangan pernah malu untuk
melakukan hal baik.” Jelas Bu Ima.
“Baik,Bu” Teman-temanku
serentak menjawab.
Ayu tampak sangat kesal
dan marah. Wajahnya merah ditambah tatapan sinis ke arahku. Kubalas dengan
senyuman.
Pelajaran pun dimulai.
Hari ini sangat menyenangkan karena pelajaran terasa sangat mudah Aku terima.
Teman-temanku mulai sibuk memintaku menjelaskan kembali saat bel istirahat
tiba. Ayu juga tampak kesulitan. Setelah selesai menjelaskan dengan teman-teman,
Aku menghampiri Ayu yang duduk sendiri dengan permen dimulutya. Aku menghampiri
dan duduk disebelahnya. Ia tampak marah dan kesal lagi, hanya saja tak ada kata
yang keluar dari mulut sinisnya.
“Ayu, Aku minta maaf ya
kalau ada hal yang membuat kamu membenciku.” Kataku pelan sambil menatapnya.
Kulihat Ayu tidak menghiraukan. Ia tetap sibuk makan permen.
“Via, ke kantin,yuk!”
Tiba-tiba Adit datang.
“Iya sebentr,Dit.” Aku
berdiri dan mengarah ke arah tasku.
“Ngapain lagi,Vi?” Adit
penasaran
“Yu, ini catatan
matematikaku. Barang kali kamu membutuhkannya nanti. Ambil aja, nanti Aku catat
lagi punyaku.” Kataku sambil menyodorkan catatan matematikaku.
“kamu apa-apaan sh,Vi?
Orang kayak Ayu nggak usah dipikirin.” Kata Adit kesal.
“Udah, ayo ke kantin!”
Kutarik tangan Adit meninggalkan Ayu sendirian di kelas.
Setelah bel masuk, Ayu
tetap tidak memberi respon apa-apa. Aku juga tidak tahu buku catatan matematika
tadi ada dimana sekarang.
“Kira-kira buku tadi
dibuangnya atau dia simpan ya?” Tanya hatiku penasaran.
Dilembar paling
belakang buku itu kutulis:
“Maafkan Aku,Yu. Maaf kalau Aku membuat kamu membenciku. Ayahku memang
kuli dan Ibuku memang berjualan di pasar. Tapi perlu kamu ketahui, Aku sangat
sayang dengan mereka. Dan Aku tidak pernah malu karena Aku memang anak
terminal. Kuharap kita bisa berteman.”
****
Keesokan harinya, tak
ada perbedaan. Adit lagi-lagi membantuku menjual nasi goreng di sekolah.
Setelah bel masuk, kami belajar seperti biasa pula. Aku kebingungan saat
mendapati sebuah buku paket matematika bertuliskan nama Ayu terletak di dalam
laci mejaku.
Kuperhatikan buku itu,
setelah kubuka, kudapati sebuah kertas bertuliskan:
“Akulah
yang seharusnya meminta maaf. Baiklah kita berteman. Pulang sekolah nanti Aku
pengen kamu dan Adit ajak Aku ke terminal. Aku pengen jalan-jalan dan mencai
sesuatu yang menarik disana.”
Aku tertawa kecil dan
tersenyum lebar ke arah Ayu. Adit tampak penasaran dan menghampiriku.
“Kenapa,Vi?” Tanya
Adit.
“Baca aja, tap dalam
hati aja. Hehe..” Kataku sambil menyodorkan kertas tadi. Adit hanya tersenyum
kecil.
“Gimana,Dit? Kamu mau
kan?” Tanyaku.
“Boleh juga, tapi kita
harus hati-hati siapa tahu ini hanya rencana keji dia aja.” Hasut Adit.
“Hush! Pikiran kamu kok
gitu.” Kataku sambil menepuk pundaknya.
****
Setelah pulang sekolah,
Ayu menghampiri Aku dan Adit yang sedang merapikan buku.
“Ayo! Waktuku nggak
banyak nih.” Ayu sangat bersemangat.
Aku dan Adit hanya
mengangguk dan tersenyum kebingungan.
Kami bertiga menuju
terminal dengan naik angkutan kota. Kulihat Ayu tampak kehausan. Aku dan Adit
lagi-lagi hanya tersenyum.
Setelah sampai, Ayu
tampak menikmati.
“Inilah Pasar, dan itu
terminal. Panas. Bau. Mending kita pulang aja deh.” Pintakku pada Ayu dan Adit.
“Kamu gimana sih! Ayo
kita cari apa yang seru di sini. Kudengar-dengar bakso disni enak. Makan yuk!”
Ayu tampak sangat bersemangat dan bersahabat.
“Yaudah, ayo-ayo!” Adit
berlari pelan meninggalkan kami. Aku dan Ayu pun tak mau kalah dari laki-laki
berkacamata itu.
Kami bercanda. Tertawa
bersama di antara lapak-lapak warga yang sempit dan terksean kumuh. Tak pernah
kusangka hal ini akan terjadi. Ingin rasanya Aku menangis bahagia. Hingga Aku
tertinggal dari mereka.
“Vi, kamu lambat banget
larinya! Ayo liat tuh Adit udah jauh.” Kata Ayu menarik tanganku.
“Iya, ayo-ayo!” Kami
berlari mengejar Adit.
Kami pun sampa di
sebuah warung bakso yang lumayan ramai pembelinya. Nafas kami tersengal-sengal
disertai tawa bahagia.
Kami bercanda dengan
mengacak-acak rambut Adit. Adit tampak kesal.
“Ohya, Aku serius nih,
Aku meminta maaf ya sama kalian. Aku memang nggak bisa jaga omongan. Tapi, Aku
akan berusaha kok untuk berubah. Kalian mau kan terus berteman denganku?” Ayu
tersenyum kecil penuh harap.
“Mau dong, bahkan kita
akan bersahabat, ya kan, Dit?” Kataku meyakinkan.
“Iya, amanlah. Tapi
rapikan dulu rambutku!” Jawab Adit yang sibuk dengan rambutnya.
Aku dan Ayu hanya
tertawa.
Hari ini, hari yang
tidak pernah kusangka. Orang yang sangat membenciku bahkan kini menjadi sahabat
baikku. Orang yang membenci tempat tinggalku bahkan kini tak bisa jauh. Maka
sesungguhnya balaslah kejahatan dengan kebaikkan karena apapun yang baik akan menghaslkan
sesuatu yang baik pula. Itu.
Selesai